Rabu, 28 Agustus 2013

Dia yang Pamit Kepada Gunung

Resensi
Sketsa dan infografik: Fredy Susanto, Kartografi: Warsono, NGI Maps, Teks: Reynold Sumayku, Sumber: Buklet Pameran 200 Tahun Junghuhn, Geothe Institut Jakarta & Erasmus Hius Jakarta, KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies, Malay Archipelago oleh Alfred Russel Wallace (Primula Imperialis).

Junghuhn
            Pada 24 April 1864, ketika deraan disentri amoeba membawa Junghuhn mendekati sakaratul maut, kepada Isaäc Groneman-pengagum, sahabta, sekaligus dokter pribadinya-dia menyebutkan permintaan terakhir yang terdengar begitu puitis sekaligus menggetarkan: “Sahabatku yang baik, bukakanlah jendela-jendela. Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku tercinta. Untuk terakhir kali, aku ingin memandang hutan-hutan, aku ingin menghirup udara pegunungan”.

Makam Junghuhn
            Dengan selempang di leher, Junghuhn menyunggingkan senyum. Matanya yang setajam mata elang tak juga sayu. Seperti akan menerima kebahagiaan. Groeneman membuka jendela-jendela dan menyeruakkan hawa dingin dan segar dari arah Gunung Tangkuban Perahu di depan yang seperti raksasa tergolek dalam kabut tebal di remang-remang bulan tua. Saat itu hamper jam tiga dini hari. Usia Junghuhn  54 tahun-lahir pada 26 Oktober 1809-dan hingga menghembuskan napas terakhir, ia tetap memegang teguh prinsip bahwa hanya alam saja “sumber segala kebenaran”.
           
10 Resensi Penting Junghuhn menurut saya: 
1. Setelah lebih dari 200 tahun sejak kelahirannya, naturalis kelahiran Jerman, franz Wilhelm Junghuhn masih kerap dibicarakan sebagai orang asing yang paling mengenal-dan begitu mencintai-alam tanah Jawa. Junghuhn diizinkan cuti sebagai dokter militer pada akhir Januari hingga Maret 1840 karena penyakit maag dan usus. Alih-alih beristirahat, ia menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke Plato Dieng dan menelitinya secara menyeluruh. Sejak itu, Junghuhn memiliki gagasan untuk mendirikan sanatorium pegunungan di Jawa bagi pasien orang Eropa.

Plato Dieng karya Junghuhn
2. Buah keingintahuan pada 1837, Junghuhn mendaki Gunung Patuha. Penduduk lokal melarangnya karena angker sehingga burung pun enggan terbang di Patuha. Ketika melihat danau Kawah Patuha, Junghuhn tahu, burung menghindari aroma belerang yang kuat.

3. Sundoro di Jawa Tengah adalah salah satu gunung dengan vegetasi perdu dan ilalang. Mengetahui pentingnya vegetasi, Junghuhn mendorong reboisasi dan pelarangan pembukaan lahan di atas ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.



4. Di Kota Bandung, nama Junghuhn disejajarkan dan diabadikan sebagai nama jalan bersama raksasa-raksasa dunia akademis internasional seperti Eijkman, Pasteur, Bosscha, Ehrlich, Otten dan Westhoff. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto, Junghuhn bukan saja salah satu dari “tiga orang Eropa yang ikut ‘babat alat’ Tatar Ukur yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kabupaten Bandung, melainkan juga orang yang berhasil mengangkat nama Bandung sebagai gudang penghasil bubuk kina yang utama di dunia”. Junghuhn melihat Cipanas, Cibodas, Cibeureum, serta Kandang Badak yang masing-masing memiliki ketinggian 1.100, 1.370, 1.600 dan 2.500 meter di atas permukaan laut bukanlah tempat yang cocok bagi Kina. Ia menunjuk daerah Pegunungan Malabar di Pandeglang sebagai tempat yang cocok. Inilah daerah yang dianggap benar-benar memiliki kemiripan dengan daerah asal kina.

5. Di Eropa, nama Junghuhn terkenal sebagai naturalis multibakat berkat bukunya tentang Tanah Batak, Die Battalander auf Sumatra yang terbit pada 1847. Instruksinya berasal dari Komisaris Pemerintah Pieter Merkus untuk membuat peta kawasan, meneliti iklim dan kesuburan tanah, menemukan kekayaan alam, menguji jenis-jenis kayu bahan perahu, dan setumpuk lagi tugas yang sifatnya etnografis (Völkerkunde). Kemudian pada awal 1850, terbitlah edisi pertama karya utama tentang Jawa dalam bahasa Belanda, yaitu Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (Jawa, Bentuk, Vegetasi, dan Susunan Dalamnya), buku ini juga diterbitkan dalam bahasa Jerman dengan judul Lanschafts-Ansichten von Java.

6. Junghuhn mulai mendaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pada November 1836, hasil observasi sejak tahun itu smapai 1848 terhadap 40 gunung api di Jawa dituangkan dalam dua jilid buku yang sangat memukau. Junghuhn juga membuat empat lembar peta besar Pulau Jawa Kaart van het Einland Java, berwarna, hampir sama lengkapnya dengan peta hasil rekaman satelit NASA tahun 2007, karya yang unggul di bidang kartografi.
Badak Jawa yang ditemui Junghuhn
7. Panduan Budi Daya Junghuhn: 
a. Ketinggian 0-600 mdpl; wilayah panas; suhu 26,3-22oC untuk padi, jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, cokelat, hutan rimba dan pesisir, ilalang, akasia, jati, mangrove. 
b. Ketinggian 600-1.500 mdpl; wilayah sedang; 22-17,1 oC untuk padi, tembakau, teh, cokelat, kina, sayur-sayuran, kopi, rasamala, hutan. 
c. Ketinggian 1.500-2.500 mdpl; wilayah sejuk; 17,1-11,1 oC untuk kopi, teh, kina, sayur-sayuran, umbi-umbian, lumut, anggrek, cemara. 
d. Lebih dari 2.500 mdpl; wilayah dingin; suhu 11,1-6,2 oC untuk pohon pakis sporadic, tidak ada tanaman budidaya.


8. Primula imperialis Jungh, adalah bunga satu-satunya yang ditemuakn oleh Junghuhn di puncak Gunung Pangrango, Jawa Barat pada pendakian pertamanya tahun 1839. Bunga ini tidak ditemukan di tempat lain. 

9. Kecintaannya pada tanah Jawa tercermin dari 19 tahun hayatnya yang habis untuk meneliti gunung-gunung, tumbuhan, serta geografi Jawa dengan begitu detail. Gunung yang didaki Junghuhn sebelum 1837: G. Malabar, G. Merbabu, G. Merapi, G. Gede, G. Pangrango, G. Salak. Gunung yang didaki Junghuhn selama perjalanan pertama pada 1837 bersama Ernst Albert Fritze: G. Tangkuban Perahu, G. Patuha, G. Papandayan, G. Guntur, G. Cikurai, G. Galunggung, G. Ciremai. Gunung yang didaki Junghuhn selama perjalanan kedua juga bersama Ernst Albert Fritze, pada 1838: G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Lawu, G. Wilis, G. Lamongan, G. Ringgit.
Vulkanik

10. Gubuk pada ketinggian 1.300 meter, di atas pegunungan, sangat sunyi, dua mil dari permukiman terdekat Bandung,” tulis Junghuhn kepada Alexander von Humboldt, sebagai pengantar foto berupa pemandangan rumahnya di Lembang. Humboldt juga merupakan naturalis Jerman yang sangat terkenal, tokoh panutan Junghuhn, yang sangat kagum atas keberhasilan Junghuhn.

Resensi dari buku Riwayat Mistis Aztec, National Geographic Indonesia
November 2010

true.ewi@gmail.com
semoga bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar