(Maret 2012)
Berpetualang di Museum, part 3
Prasati di Museum Fatahillah |
Penduduk Jakarta mana yang tak kenal Museum Fatahilah atau gedung yang identik dengan “Kota Tua” ini? Terletak di Jl. Taman Fatahillah 1, Museum Fatahillah dulunya adalah Balaikota atau Stadhius yang selesai didirikan oleh Belanda pada tahun 1712. Di tempat inilah masyarakat Batavia (sebutan untuk penduduk Jakarta pada zaman tersebut) kala itu datang untuk mengurus segala keperluan mereka, mulai dari izin perkawinan, usaha, bangunan, hingga memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan kata lain, segala keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diambil oleh para penguasa kota dari balik gedung ini (Lenggak-Lenggok Jakarta, 2000).
Peta Bangunan |
Museum Fatahillah adalah Museum Sejarah bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tak hanya urusan kependudukan, Stadius juga dikenal dengan sebutan College van Schepen (Dewan Kotapraja), yang menangani berbagai perkara hukum pidana dan perdata antarwarga kota. Di gedung ini, berbagai proses peradilan hingga eksekusi bagi para terdakwa dilakukan. Sehingga tak heran bila pada saat pertama kita memasuki gedung ini, kita akan disambut dengan patung-patung yang memperlihatkan prosesi pemenggalan dan penggantungan kepala manusia yang pernah terjadi saat itu. Tapi jangan takut, tidak semua hal di gedung ini berkesan horor. Yuk kita simak lebih jauh.
Tiket Masuk, hanya 2ribu rupiah saja |
Untuk masuk ke dalam museum, kita cukup mengeluarkan uang senilai dua ribu rupiah per orang. Setelah itu kita bebas menelusuri dan berimajinasi sejak pertama menginjakkan kaki di sana. Begitu melewati pintu besar utama ke dalam gedung, terdapat denah museum yang sangat membantu kita untuk mengetahui letak-letak ruangan atau barang yang kita ingin lihat. Sejenak mungkin gedung ini terlihat hanya memiliki 2 lantai, tapi kenyataannya tidak. Di bawah lantai satu, masih ada lantai lagi yang lebih bawah dan bisa kita lihat dari belakang gedung.
Jejak Kaki Petinggi Mataram |
Dari pintu masuk di lantai satu, bila kita belok ke kanan, akan ada ruangan tempat arca-arca dan benda-benda peninggalan zaman kerajaan Majapahit, hingga zaman penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Akan ada lukisan-lukisan, prasasti kaki Raja Mulawarman, hingga benda-benda antik dan bersejarah lainnya terpajang dalam nuansa seperti berada di dek kapal, dengan jembatan kayu untuk kita berpijak.
Lukisan Bpk. Sujdojdono |
Memasuki sayap kiri museum, kita akan disambut dengan patung-patung yang telah disebutkan tadi dan lukisan besar mahakarya bapak Sujdojdono yang menggambarkan tentang perang besar yang pernah terjadi di depan Stadhius. Cermatilah perlahan lukisan tersebut, kita akan menemukan Stadhius berdiri megah berwarna putih di tengah atas dengan disekelilingnya hiruk pikuk api peperangan.
Meja Kursi Karya Raffles |
Naik ke lantai 2, kita akan melihat beberapa benda yang didesain oleh Raffles, cerdik dan mendetail, sangat khas dengan ukiran-ukiran yang masih terinspirasi dari asal kebangsaannya, ada lemari, meja kursi, hingga tempat tidur bayi. Selain benda-benda karya Raffles, adapula Lukisan Pangeran Diponegoro hasil Karya Raden Saleh yang selalu para tourguide banggakan kapada para turis yang datang berkunjung ke museum tersebut. Lukisan bernilai sejarah lainnya juga bisa kita lihat pada dinding atas pintu masuk museum yang menggambarkan tentang justice, sejalan dengan nilai Dewan Kotapraja tadi. Selanjutnya pada beberapa titik di dalam dan diluar bangunan ini juga terdapat meriam-meriam dan guci-guci antik yang masih dipertahankan keberadaannya.
Tangga menuju menara |
Di lantai 2, sebenarnya kita bisa melihat ada tangga lain berwarna merah yang menjulang melewati plafon atap, kemanakah kiranya tangga itu menuju? Yap, ke menara tentunya. Namun sayang akses ini tertutup untuk umum. Selain tangga ke menara, ada pula tangga ke bawah menuju penjara bawah tanah. Hiiii, apakah itu? Menurut sejarahnya, Stadhius menjadi begitu mengerikan karena adanya penjara bawah tanah yang ditunjukkan bagi para saksi sebuah perkara dan para terdakwa yang akan diadili. Konon, para pesakitan tersebut harus mendekam di sana dalam keadaan mencekam dan ditemani banyak lintah. Di dalam penjara tersebut, para pesakitan direndam di air setinggi kurang lebih 90 cm dalam kondisi tangan terantai.
Area penjara bawah tanah berair yang masih bisa kita lihat ada di ujung sebelah kanan gedung, kira-kira ada tangga kecil disudut yang mengarah pada sebuah ruangan lebar tapi cukup rendah dengan setengah tingginya terendam air. Selanjutnya pada bagian belakang gedung, tampaklah penjara-penjara “kering” yang atapnya juga rendah seperti goa buatan. Penjara-penjara ini pada zaman tersebut tidaklah se”bersih” dan se”tenang” pada saat kini kita kunjungi, tapi tidak perlu kita bayangkanlah ya, serem,,.
Salah satu relief tulisan |
Dari literatur yang pernah dibaca, sebenarnya penjara bawah tanah tidak hanya dua yang telah disebutkan diatas, tapi ada juga area lebih luas hingga keluar dari gedung tersebut hingga ke jalan, terdapat lekukan seperti loteng kaca tembus pandang yang terendam sejajar dengan lantai untuk bisa memantau penjara yang satu ini. Namun sepertinya zaman telah membuat penjara ini tidak lagi bisa diakses dan sudah ditutup demi kemaslahatan umat, hehe,.
Lukisan di dinding atas, tentang keadilan |
Sekalian cerita yang seram-seram, sebenarnya terdapat hukuman yang lebih sadis diberlakukan pada mereka yang menurut para hakim telah melakukan kesalahan. A Heukeun SJ, seorang pengamat sejarah mencatat berbagai hukuman sadis tersebut, salah satu hukuman yang diberlakukan adalah hukuman mati pada tiang gantung di depan Stadhius. Menurut informasi, ketika hukuman ini diberlakukan, masyarakat sekitar “diundang” untuk menyaksikan. Undangan disebar dengan cara membunyikan lonceng yang sampai kini masih tetap terpasang diatas bangunan (nah, sekarang kita tau tentang isi menara yang aksesnya ditutup itu). Hal ini merupakan peringatan kepada masyarakat agar tidak menentang Belanda. Benda eksekusi seperti pisau panjang yang dulunya sering digunakan untuk memenggal kepala terhukum juga masih tersimpan di museum ini.
Miniatur Klenteng |
Oke, selesai dengan yang seram-seram, sekarang kita berlanjut dengan memasuki halaman yang berada di belakang museum. Ada sebuah patung seukuran anak kecil usia 10 tahun berwarna emas terpajang di dekat tangga keluar. Agaknya patung ini telah mencuri sedikit perhatian pengunjung karena patung ini tidak berpakaian, ups! Yah, sebenarnya ada yang lebih penting dibanding dengan fisik patung tersebut, tapi soal sejarah yang terkandung di dalamnya. “Hermes belum kembali”, begitulah riwayat patung ini ditulis dalam sebuah literatur. Patung Hermes atau dikenal juga sebagai Patung Mercuri dan Patung Perniagaan Pembawa Keberuntungan, adalah patung perunggu yang dipercaya sebagai simbol perniagaan sebab letaknya di mulut Jalan Hayam Wuruk yang pada saat itu sudah merupakan daerah perdagangan yang cukup ramai. Patung tersebut dibangun bersamaan dengan Jembatan Harmoni pada tahun 1905, dan terus ditempatkan di atas jembatan hingga pada tanggal 20 Agustus 1999, patung tersebut raib entah kemana.
Benda-benda bernilai seni dan sejarah tinggi |
Untungnya, patung tersebut berhasil ditemukan dengan keadaan masih bagus. Pemerintah DKI Jakarta tidak langsung mengembalikan patung tersebut pada tempatnya dan berencana membuat replikanya, sedangkan yang asli kini berada di museum Fatahillah yang sedang kita bahas sekarang. Itulah sebabnya mengapa disebut “Hermes belum kembali”, karena ia belum kembali ke Jembatan Harmoni lagi.
Relief bergambar |
Selanjutnya, di halaman belakang masih bisa kita jumpai koleksi meriam, tempat minum kuda, dan beberapa prasasti di depan kantin. Prasasti ini berdiri tegak dengan relief-relief dan tulisan yang seperti biasa, sangat mempesona bagi pengagum sejarah. Dililit dengan tanaman merambat, prasasti ini seakan dibiarkan meng’kuno’ dimakan zaman oleh pihak pengelola, benda-benda kuno lainnya pun seakan terbengkalai. Memang, bila kita lihat sepintas, benda-benda yang ada disekitar museum seakan tak berarti, tak jarang kita akan menjumpai benda-benda tersebut malah sengaja dirusak oleh pengunjung, seperti lukisan-lukisan di Museum Keprajuritan TMII misalnya. Sedih sekali melihatnya.
Properti di zaman kononial Belanda |
Tapi seperti kata orang utama, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai leluhurnya. Dan sepakat dengan beberapa ahli sejarah, meskipun penjajah telah merugikan bangsa ini, tapi peninggalannya yang luar biasa pun banyak membawa manfaat bagi Indonesia, sebut saja contohnya Sekolah Kedokteran Stovia buatan Belanda yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, atau Kebun Raya Bogor yang dibangun oleh Gubernur Raffles dan kemajuan-kemajuan lain dalam berbagai bidang, termasuk perekonomian yang telah dibuktikan dengan adanya sejarah Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia.
Stadhius |
Sedikit pesan, kita bisa memulai menjadi bangsa yang besar dengan mempelajari sejarah, menjaga keabsahan sejarah, jangan merusak properti sejarah dan jangan asal mencela yang tidak dimengerti. Oke, yuk kita rame-rame datang berkunjung ke museum!
Untuk dikenang bagi penulis:
Beribu sejarah pada satu benda |
Seandainya aku punya pengetahuan lebih banyak tentang tempat ini sebelum datang berkunjung, mungkin waktu seharian tidaklah cukup untuk menuntaskan rasa penasaran terhadap sejarah museum ini. Hal yang membuat sangat berdebar-debar adalah ketika mengetahui asal muasal keberadaan museum ini, hubungannya dengan museum-museum lain, dan seperti apa kita bisa membayangkan keadaan di museum ini beratus tahun silam. Sangat menarik mendengar orang bercerita tentang pengalaman seramnya dalam museum ini, atau mungkin kita sendiri yang merasakan adanya ‘ketertarikan’ secara magis terhadap tempat ini. Well, it’s really interesting!
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk yang membaca.
Salam hangat,
true.ewi@gmail.com
Tambahan Literatur:
Lenggak-Lenggok Jakarta, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar